Tag Archives: hajatan

Kondangan Unik, Bawa Beras dan Pisang


IMG_20141220_102504Setiap daerah mempunyai tradisi tertentu. Tradisi tersebut antara daerah yang satu dengan yang lain berbeda. Perbedaan inilah yang membuat keindahan dan kekhasan dari masing-masing daerah. Perbedaan inilah yang menjadi keunikan dari tradisi dan budaya yang ada di negeri ini.

Salah satu tradisi unik tersebut adalah tradisi kondangan yang tidak seperti kondangan pada biasanya. Biasanya orang kondangan ke tempat hajatan dengan berpakaian rapi dengan menggunakan kebaya dan dandanan yang menarik dengan selembar amplop yang berisi uang untuk dimasukkan ke kotak di tempat orang yang punya hajatan. Hajatan yang sering adalah resepsi atau pesta pernikahan, khitanan, atau syukuran karena telah lahir momongan yang baru.

Kebetulan saya dapat menyaksikan sebuah hajatan pernikahan di sebuah keluarga yang berada di RT 01/06, Dukuh Tagung, Desa Rembun, Kecamatan Nogosari, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Saya tertarik dengan tradisi hajatan di sini. Ada yang berbeda dengan di tempat lain pada umumnya. Tradisi unik ini ternyata juga berada di desa-desa sekitar Rembun, terutama di Kecamatan Nogosari.

Umumnya mereka yang punya hajatan adalah ‘mantu’ atau ‘ngunduh mantu’. Setelah sepakat seorang gadis dilamar, maka kedua keluarga calon mempelai sepakat menentukan hari dan tanggal pernikahan. Di sini tradisi adat Jawa terutama Solo masih terasa, meskipun sudah ada perubahan gaya modern. Kentalnya tradisi tradisional Solo adalah terletak pada penentuan hari pernikahan. Berdasarkan perhitungan tertentu maka hari pernikahan berdasarkan penentuan ‘weton’ (hari kelahiran) dari calon kedua mempelai, orang tua kedua calon mempelai, dll. Pada hitungan hari di Jawa ada yang namanya istilah pasaran, weton berdasarkan pasaran Pon, Wage, Kliwon, Legi, Pahing, dan hari Senin (Senen), Selasa (Seloso), Rabu (Rebo), Kamis (Kemis), Jumat (Jum’at), Sabtu (Setu), dan Minggu (Ngat). Jadi penentuan hajatan berdasarkan pada hari dan pasaran, misal hajatan pada Ngat Wage (Minggu Wage).

Jika pada biasanya orang punya hajatan pada hari Minggu, maka tidak demikian di tempat ini. Orang menggelar hajatan tidak harus hari Minggu, bisa Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, atau Sabtu. Penentuan hari selain berdasarkan perhitungan tertentu dari weton kedua calon mempelai juga berdasarkan pantangan hari dari yang punya hajatan. Pantangan tersebut biasanya hari meninggalnya orang tua atau mertua yang punya hajatan. Misalnya orang tua atau mertua yang punya hajatan meninggal pada Ngat Kliwon (Minggu Kliwon), maka pada hari Minggu pada pasaran Kliwon tidak bisa dipakai. Jika menurut perhitungan hari baik untuk hajatan hari Kemis Legi (Kamis Legi), maka pada hari Kamis dengan pasaran Legi sesuai tanggal masehi yang ada itulah dilaksanakan hajatan.

Ada lagi keunikan dalam hari hajatan di sini. Jika kebanyakan orang menggelar hajatan pernikahan pada bulan apapaun kecuali pada bulan Ramadan atau istilah di kalender Jawa disebut dengan ‘Poso’, maka di sini selain bulan Ramadan juga ada bulan lain yang tidak boleh. Bulan Muharram atau dalam kalender Jawa disebut ‘Suro’ adalah bulan yang tidak boleh digunakan untuk hajatan pernikahan.

Seminggu sebelum hari H hajatan, diadakan ‘Jatahan’. Di tempat lain seperti di Nogosari dinamakan ‘Kumbokarnan’. Jatahan berasal dari kata ‘jatah’ yang artinya bagi-bagi pekerjaan. Jatahan dilaksanakan pada malam hari. Pada acara jatahan ini semua panitia diundang oleh tuan rumah penyelenggara hajatan. Tuan rumah menyuruh orang untuk mengundang, undangan tidak dengan kertas, namun hanya dengan datang dari rumah ke rumah menyampaikan apa yang diinginkan orang yang punya hajatan dengan Bahasa Jawa Kromo (halus).

Pada acara jatahan seluruh panitia yang diundang dibacakan masing-masing pekerjaan yang harus mereka lakukan. Mulai dari tukang masak, tukang membuat minuman dan cuci piring, lansir piring, ‘among tamu’ sampai pada orang yang menyambut ‘besan’. Banyaknya jenis pekerjaan ditentukan dari banyak tamu dan kerumitan acara yang akan dilakukan pada hajatan nanti.

Untuk keluarga biasanya among tamu, sementara untuk orang tua yang tidak dapat jatah hanya datang saja. Untuk anak muda dan remaja dapat jatah ‘ulem’, yaitu menyebar undangan ke desa-desa tetangga. Selain dapat jatah ulem juga dapat jatah ‘ron’, yaitu cari daun jati dan daun kelapa muda (janur) untuk perlengkapan hiasan pelaminan dan ‘kembar mayang’. Daun jati di sini masih diperlukan untuk bungkus makanan. Jangan heran jika rasa masakan sangat nikmat jika dibungkus dengan daun jati.

Pagi hari setelah malam jatahan, para panitia pada kelompok ronda (satu kelompok dengan yang punya hajatan) melaksanakan kerja bhakti di rumah orang yang punya hajatan. Kerja bhakti membersihkan halaman, pohon yang hatus dipotong dahannya supaya tidak menganggu dalam pemasangan tenda nanti.

H-2 dari hajatan para pemuda mencari ‘ron’. Daun kelapa muda atau janur dan daun jati masih banyak. Pada H-2 juga biasanya dilakukan pembuatan jenang atau wajik. Pembuatan dilakukan oleh kaum pria yang pembuatannya bisa memakan waktu yang lama, mulai dari persiapan, mengaduk, sampai jadi dari pagi sampai sore. Pekerjaan ini juga melibatkan perempuan pada kelompok ronda.

H-1 para kaum pria berdatangan ke orang yang punya hajatan dengan membawa ‘knap’, yaitu meja tanggung yang wajib harus dimiliki setiap rumah. Meja ini berfungsi untuk meletakkan minuman teh untuk para tamu pada hari H. Selain knap, para kaum pria yang punya meja besar juga harus membawanya, meja ini untuk berbagai keperluan, seperti untuk tempat mempersiapkan mmakanan dan minuman, dll. Para kaum pria ini kemudian secara bergotong royong tanpa diperintah ke tempat penyimpanan barang-barang untuk keperluan hajatan. Barang yang mereka ambil adalah perlengkapan masak, piring, sendok, kursi, dll. Semua yang dilakukan kaum pria pada H-1 ini disebut dengan ‘silih-silih’.

Perlu pembaca ketahui bahwa setiap RT di Dukuh Tagung ini mempunyai peralatan untuk hajatan sendiri. Jadi setiap keluarga yang mempunyai hajatan tidak perlu lagi menyewa. Jika pada satu RT tidak mencukupi bisa pinjam kepara RT yang lain. Peralatan memasak seperti wajan, panci, tempat merebus air yang besar, piring, sendok, mangkuk, cawan ,dll. Ini semua gratis, seluruh peralatan hajatan seperti peralatan memasak dan kursi adalah iuran dari seluruh warga pada setiap RT.

Bawa Beras dan Pisang

H-1 hajatan para tamu biasanya sudah pada datang. Tamu yang datang ini adalah mereka para tetangga yang ‘rewang’. Mereka tidak hanya datang saja, namun juga membawa berbagai barang untuk keperluan hajatan. Istilah ‘Njagong’ atau ‘nyumbang’ atau orang biasa menyebut ‘Kondangan’ adalah untuk orang yang datang ke tempat hajatan. Mereka yang disebut nyumbang adalah kamum perempuan yang telah berkeluarga. Barang utama yang selalu dibawa oleh orang yang nyumbang adalah beras. Beras adalah tanaman utama penduduk di sini, jadi beras selalu ada pada setiap nyumbang. Ukuran beras yang dibawa adalah ‘sedangang’ (setara dengan 5 liter) atau ‘sebojog’ (setara dengan 10 liter).
IMG_20141220_130109Barang tambahan lain yang bisa dibawa adalah pisang (berbagai jenis), bihun, roti kering, dll. Untuk sayuran yang sering dibawa adalah labu siam, buncis, kubis, kacang panjang, dll. Semua barang yang dibawa perempuan-perempuan tadi dicatat oleh juru catat yang telah ditunjuk pada jatahan. Juru catat biasanya perempuan juga yang pekerjaannya khusus mencatat secara teliti semua barang bawaan dari tamu.

Tidak setiap perempuan yang nyumbang membawa pisang, namun selain beras biasanya ada barang lain yang dibawa. Biasanya makanan yang sudah matang atau masih mentah. Mereka yang membawa barang yang banyak biasanya bangga. Ini menunjukkan status sosial dan juga kedekatan keluarga dengan orang yang punya hajatan. Orang yang membawa ‘jadah’ (makanan tradisional dari ketan dengan rasa gurih) atau ‘wajik’ (makanan tradisional dari ketan dengan rasa manis)biasanya adalah keluarga dekat orang yang punya hajatan.

Tempat yang digunakan untuk membawa barang-barang tersebut biasanya adalah ‘tenggok’ (bakul) yang terbuat dari anyaman bambu. Tenggok digendong di belakang badan dengan ‘jarik’, yaitu semacam kain batik. Tak hanya itu saja, ada juga dari ‘kandi’, yaitu kantong bekas tempat tepung terigu. Setelah pulang, kandi atau tenggok tadi diisi oleh-oleh berupa nasi, sayur dan lauk matang, serta makanan tradisional seperti ‘jadah’, ‘wajik’, ‘rengginan’, dll. Tak lupa juga para ibu yang nyumbang ini membantu ke dapur untuk sekedar mengupas atau mengiris sayuran untuk dimasak. Bagi mereka yang jauh dan membawa barang biasanya tidak ke dapur, setelah makan makanan yang disediakan oleh tuan rumah langsung pulang.

Oleh-oleh bagi yang nyumbang dengan uang

Oleh-oleh bagi yang nyumbang dengan uang

Bagi yang tidak membawa barang pada saat nyumbang, maka mereka membawa uang yang dimasukkan ke dalam amplop. Mereka yang nyumbang dengan uang diberi oleh-oleh juga. Jika pada jaman dulu oleh-oleh berupa nasi, sayur, dan lauk, serta makanan tradisional yang dibungkus dengan daun jati dan dimasukkan ke ‘brongsong’ (tempat dari anyaman bambu), maka sekarang digantikan dengan plastik atau kantong dari kertas yang lebih modern.

Resepsi pernikahan biasanya pada siang hari, namun ada juga yang malam hari. Malam ‘midodareni’ biasanya ada acara, pada malam ini juga seluruh panitia berkumpul. Ada hal-hal penting yang dibicarakan untuk persiapan acara resepsi esok hari. Ada juga hiburan pada malam midodareni ini, tergantung dari yang punya hajatan. Panitia dari kelompok ronda biasanya begadang sampai pagi.

Pada hari H, semua panitia bekerja melayani tamu sesuai dengan pekerjaannya. Kekompakan di sini sangat terasa. Meskipun tidak dibayar namun rasa kekeluargaan sangat kental. Tak seperti di kota yang rasa kebersamaan dan kekeluargaan sudah banyak yang pudar. Hanya pada bagian tertentu yang dibayar karena harus bekerja hampir 48 jam, seperti tukang masak yang ditunjuk, tukang cuci piring dan buat minuman teh, dll sesuai kebutuhan yang punya hajatan.

Setelah selesai resepsi pada hajatan biasanya acara selesai, tidak dengan di sini. Tamu masih banyak berdatangan sampai menjelang magrib meskipun acara resepsi sudah selesai. Para pelayan (sinoman) yang biasanya pemuda dan pemudi dari Karangtaruna Permata melayani tamu dengan ramah baik pada saat resepsi maupun sesudahnya.

Acara jagongan dengan hiburan Campur Sari

Acara jagongan dengan hiburan Campur Sari


Pada malam hari setelah resepsi, ada acara ‘jagongan’, yaitu acara untuk kaum pria seluruh kampung. Seluruh pria satu kampung secara otomatis diundang meskipun tanpa ada undangan tertulis maupun lisan. Berbeda dengan pada acara resepsi, kaum pria yang datang hanya mereka yang diundang secara lisan saja, biasanya yang ada hubungan kekerabatan dengan yang punya hajatan. Pada jagongan biasanya ada hiburan. Hiburan yang biasa ada adalah ‘Campur Sari’.

Setelah selesai hajatan, pagi hari seluruh kaum pria berkumpul untuk acara ‘uleh-uleh’, yaitu kegiatan mengembalikan pinjaman barang. Sebelum dikembalikan barang diteliti dan diperiksa. Khusus untuk piring dibersihkan dulu dengan kain dan beras. Selesai acara tuan rumah diwakili oleh seseorang menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh panitia. Acara ‘uleh-uleh’ ini diakhiri dengan sarapan bersama dan makan bubur sumsum sebagai tanda berakhirnya hajatan. Para pria tersebut diberi ‘iber-iber’, yaitu oleh-oleh sebagai tanda ucapan terima kasih dari yang punya hajatan.

Meskipun jaman sudah maju dan modernisasi, tradisi ini masih terus dijaga turun temurun. Tradisi yang sampai saat ini masih dijaga terutama adalah untuk satu kampung tidak ada undangan baik tertulis (ulem) maupun lisan jika ada hajatan. Satu kampung terdiri dari 3 RT untuk Tagung Rembun dan 2 RT untuk Tagung Guli, jadi seluruhnya ada 5 RT dengan sekitar 300 Kepala Keluarga (KK). Jadi jika ada yang punya hajatan, setiap KK pasti datang tanpa ada undangan. Untuk kaum perempuan yang bukan panitia pada siang hari, dan kaum laki-laki pada malam jagongan. Hajatan pernikahan di daerah ini biasanya dilaksanakan selama dua hari dua malam.

Semangat kekeluargaan dan kebersamaan ini yang saya sangat kagumi. Hal seperti ini sudah jarang dijumpai, meskipun berada di pedesaan.