Daily Archives: Juli 25th, 2013

Benarkah Kurikulum 2013 Guru Menjadi Tidak Kreatif?


Ilustrasi guru mengajar di kelas, foto: guru.or.id

Ilustrasi guru mengajar di kelas, foto: guru.or.id

Dunia pendidikan Indonesia saat ini lagi menjadi sorotan publik. Perubahan kurikulum adalah alasan yang mendasari sorotan tersebut. Banyak kalangan yang menilai bahwa perubahan kurikulum dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) ke Kurikulum 2013 banyak cacatnya. Praktisi pendidikan menganggap bahwa kurikulum yang baru ini membuat resah para guru. Bagaimana tidak, mata pelajaran yang semula ada menjadi dihapus. Sebut saja pelajaran Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Hal ini membuat guru yang mengajar mata pelajaran tersebut menjadi ‘galau’, apa lagi yang sudah menyandang gelar ‘bersertifikat’ sebagai guru yang profesional.

Memang beberapa pihak tidak setuju pada kurikulum 2013. Selain ada mata pelajaran yang dihapus, ternyata kurikulum baru tersebut ada yang menilai guru menjadi tidak kreatif. Benarkah demikian? Perangkat kurikulum 2013 seperti silabus bersifat sentral. Artinya pusat yang menentukan, guru hanya sebagai pelaksana saja.

Hal ini mematikan kreativitas para guru. Ilmu itu dari hari ke hari terus berkembang, jika segala sesuatu yang ada pada kurikulum telah ditentukan oleh atasan, maka ilmu tersebut tidak bisa berkembang. Pada hal, tiap sekolah mempunyai cara yang berbeda dalam mensikapi kurikulum, tidak semua sekolah sama dalam cara mengajarkan mata pelajaran. Hal ini tergantung dari situasi dan kondisi masing-masing sekolah. Sarana dan prasarana (sarpra), juga kondisi guru sangat menentukan cara menyajikan materi pelajaran. Sarpra yang menunjang seperti komputer, internet, alat peraga menjadikan pelajaran disajikan dengan cara yang kreatif. Namun, jika tidak ada sarpra yang memadai, maka pelajaran juga kurang maksimal bisa diajarkan. Namun, dengan guru yang kreatif hal itu bisa diatasi. Jika sudah ditentukan dari atas, maka guru hanya bisa melaksanakan apa yang sudah ada saja. Bisa jadi ini membuat bosan baik guru maupun siswa yang belajar.

Berbeda dengan kurikulum KTSP, guru diberi kebebasan dalam berekspresi untuk kreatif. Kebebasan berekspresi dalam hal ini adalah guru bisa membuat silabus sendiri maupun dengan kelompok melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dari cotoh yang sudah ada. Begitu juga dengan RPP dan cara evaluasi pada setiap Kompetensi Dasar (KD). Jadi, antar sekolah bisa berbeda dalam hal perangkat pembelajarannya, meskipun Standar Kompetensi (SK) atau KD untuk pelajaran pada jenjang dan tingkat yang sama. Sekolah yang didukung oleh sarpra yang memadai membuat guru kreatif. Metode dan model-model pembelajaran juga sangat beragam. Hal ini menjadikan siswa lebih tertarik yang nantinya membuat siswa lebih cepat dalam menyerap pelajaran.

Kurikulum yang mengekang kreativitas guru bisa membuat guru ‘nglokro’, guru tidak punya semangat dan motivasi dalam mengajar. Hal ini sesuai dengan sumber yang saya dapatkan dari Okezone (05/07/2013), “Hal itu bisa berdampak pada kurangnya motivasi kerja guru,” ucap Guru Besar Pendidikan Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta Prof Sarwiji, di Kampus Program Pascasarjana UNS, Solo, Jawa Tengah, Jumat (5/7/2013).

Dia berpendapat, ketika terjadi perubahan kurikulum seyogyanya guru diposisikan sebagai pembelajar dan perubahan kurikulum itu sebagai kegiatan belajar bagi mereka.

“Hal demikian menjadi penting karena guru akan mampu mengoptimalkan kegiatan pembelajaran manakala ada keterlibatan dalam pengembangan tujuan dan perencanaan pembelajaran,” jelas Sarwiji.

Sejauh ini, menurut Sarwiji, pelaksanaan kurikulum 2013 kurang menempatkan guru sebagai variable penentu. Guru pada posisi kurang dipercaya dan dipandang kurang berdaya.

Pengembangan kurikulum terkesan sentralistis. Tujuan kurikulum sebagaimana yang tercakup dalam kompetensi inti dan kompetensi dasar, bahkan silabus dan buku, telah dipersepsikan secara terpusat.

Perubahan kurikulum seharusnya melibatkan guru, karena bagaimanapun guru adalah ‘ujung tombak’ dari pendidikan. Jika ada perubahan kurikulum, seharusnya guru diposisikan sebagai pembelajar dan perubahan kurikulum itu sebagai kegiatan belajar bagi guru. Guru yang paling mengetahui tentang kondisi di lapangan, akan tetapi orang yang di atas yang mengambil keputusan belum tentu mengetahuinya, jadi keputusan yang diambil harus menyertakan perwakilan guru.

Bagi sebagian guru memang dengan semuanya sentralisasi, maka beban guru akan lebih ringan. Guru tidak lagi harus membuat perangkat pembelajaran yang tak jarang membuat guru menjadi ‘pusing’. Selama ini guru dibebani dengan perangkat pembelajaran yang banyak, sehingga seolah-olah yang penting adalah perangkat pembelajarannya, pada hal justru bukan itu. Perangkat yang bagus akan menjadi percuma saja jika apa yang diajarkan oleh guru tidak bisa secara maksimal diserap oleh siswa. Bukan berarti perangkat pembelajaran tidak perlu, namun seharusnya perangkat yang ada membuat guru juga nyaman dalam bekerja. Jika demikian, maka tujuan pendidikan akan menjadi tecapai.

Banyak sekolah belum menerapkan Kurikulum 2013

Kurikulum 2013 sudah diberlakukan sejak 15 Juli 2013, namun masih banyak sekolah yang belum melaksanakan. Selain di sekolah di bawah naungan Dinas Pendidikan, sekolah di bawah naungan Kementerian Agama (Kemenag) bahkan hampir semua belum melaksanakan kurikulum 2013. Pemberlakuan kurikulum baru ini dimulai dari kelas satu atau kelas tujuh atau kelas sepuluh, tergantung dari masing-masing jenjang pendidikan yang bersangkutan. Namun, ternyata kurikulum 2013 hanya dilaksanakan pada sekolah-sekolah tertentu saja, belum serentak dilaksanyakan di Indonesia.

Kenapa bisa terjadi demikian? Mungkin masih banyak mengalami kendala. Buku-buku untuk menunjang kurikulum baru ini belum didistribusikan ke semua sekolah di Indonesia. Jika bukunya saja belum ada mana mungkin bisa ganti kurikulum. Guru mau mengajar apa jika bukunya saja belum ada. Selain itu, masih banyak guru yang belum mendapatkan pelatihan tentang kurikulum baru ini. Jika gurunya saja belum dilatih, bagaimana guru akan mengetahui tentang kurikulum yang akan diajarkan kepada siswa?

Seharusnya perubahan kurikulum sudah disiapkan jauh-jauh hari, sehingga tidak menimbulkan masalah di lapangan, jika ada bisa diminimalisir. Seharusnya kurikulum baru benar-benar menjadikan perubahan pendidikan. Perubahan yang dimaksud adalah perubahan dari yang belum baik atau yang tidak baik menjadi yang lebih baik, bukan malah sebaliknya. Jika orientasi perubahan kurikulum hanya sebuah proyek, maka tunggulah kegagalannya. Jika gagal, maka pendidikan bukannya akan menjadi maju, malah menjadi mundur. Semoga saja dengan kurikulum baru ini pendidikan di Indonesia jadi lebih baik ke depannya. Kita lihat nanti hasilnya.

————————————————–

Baca juga:
Banyak yang Kontra Pada Kurikulum 2013, Kenapa?
Kurikulum 2013, Nasib Ribuan Guru Bersertifikasi Di Ujung Tanduk?
Guru Plus, Guru yang Menulis

————————————————–

Jika Anda ingin mendapatkan informasi dari blog ini melalui facebook Anda, silahkan klik tautan halaman (page) facebook berikut ini cauchymurtopo.wordpress.com kemudian klik suka (like) atau ikuti (follow) melalui twitter @CauchyMurtopo