Tag Archives: FDS

Banyak yang Kontra Full Day School, Ini Alasannya


Ilustrasi guru mengajar di kelas, foto: guru.or.id

Ilustrasi guru mengajar di kelas, foto: guru.or.id

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) hasil reshuffle kedua, Prof. Muhadjir Effendy baru dilantik 27 Juli 2016. Ini artinya menteri yang merupakan mantan rektor kelima Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) belum berumur jagung, malah bisa dibilang baru seumur tauge. Meskipun baru dilantik, namun pengganti Anies Baswedan ini sudah membuat dunia pendidikan di tanah air menjadi heboh.

Mungkin kalau tidak ada gebrakan bukanlah disebut ‘pembantu presiden’ yang kinerjanya baik. Seperti Kementeri Kelautan dan Perikanan (KKP), Susi Pudjiastuti yang menjadi heboh karena gebrakannya menenggelamkan kapal asing yang mencuri ikan di wilayah perairan Indonesia. Tak hanya nelayan saja yang setuju dengan penenggelaman kapal asing yang mencuri ikan ini , namun juga warga negara Indonesia setuju, karena jika dibiarkan ikan dicuri oleh nelayan asing, maka produksi ikan laut menjadi kurang sangat jauh dan nelayan menjadi tidak sejahtera. Kinerja menteri yang tidak pernah berpendidikan di bangku kuliah ini akhirnya menjadi salah satu menteri di Kabinet Kerja Jokowi yang bagus.

Kehebohan juga terjadi di Kemendikbud yang baru. Mendikbud baru ini mempunyai gagasan ingin menjadikan sekolah menjadi seharian atau Full Day School (FDS). Kehebohan muncul manakala terjadi pro dan kontra. Ada yang pro, namun lebih banyak yang kontra. Bagi yang pro, adanya FDS sangat membantu orang tua. Pasalnya bagi orang tua yang seharian bekerja maka dengan anaknya seharian di sekolah maka orang tua tidak khawatir lagi tentang keadaan anaknya setelah pulang sekolah pada saat tidak ada FDS. Para orang tua menganggap ini adalah solusi supaya anaknya tidak ‘keluyuran’ setelah pulang sekolah. Orang tua dan anak bisa sampai ke rumah dalam waktu yang hampir bersamaan.

Kebijakan pak profesor ini mewacanakan penerapan model pembelajaran pada tingkat SD dan SMP siswa akan berada di sekolah dari pukul 07.00 sampai 17.00. Menteri yang lahir di Madiun pada 29 Juli 1956 ini beralasan dengan FDS maka siswa dapat terhindar dari kegiatan-kegiatan negatif di luar lingkungan sekolah. Selama seharian siswa siswa tak hanya melakukan aktivitas akademis, tetapi juga nonakademis, seperti mengikuti ekstrakurikuler.

Konsep FDS memang bukan hal yang baru di dunia pendidikan di Indonesia. Beberapa sekolah, terutama yang swasta telah menerapkan FDS. Model pembelajaran FDS ini menurut menteri yang merupakan putra keenam dari sembilan bersaudara pasangan Soeroja dan Sri Soebita ini memiliki bebrapa kelebihan, seperti siswa siswa mendapat metode pembelajaran yang bervariasi dibanding sekolah reguler.

Masih menurut pak profesor, dengan adanya FDS perkembangan bakat, minat, dan kecerdasan siswa terantisipasi sejak dini melalui pantauan program bimbingan dan konseling. FDS juga bisa meningkatkan gengsi orangtua yang memiliki orientasi terhadap hal-hal yang bersifat prestisius.

Di baik keunggulan-keunggulan dari gagasan pak menteri tersebut, ternyata banyak yang kontra dari pada yang pro. Yang kontra tersebut dari kalangan siswa, guru, dan pemerhati perkembangan anak. Dengan FDS maka sekolah hanya 5 hari saja, yaitu pada Senin sampai dengan Jumat. Hari sabtu dan Minggu siswa libur. Diharapkan bagi orang tua yang seharian sibuk bekerja selama 5 hari tersebut maka di akhir pekan selama 2 hari bisa berinteraksi dengan anaknya.

Namun, apakah semua orang tua siswa seharian bekerja selama 5 hari? Tentu saja tidak. ada orang tua yang bekerja dari Senin sampai Sabtu bahkan Minggu. Ada juga orang tua yang bekerja namun di rumah, misal yang memiliki usaha rumahan (home industri).

Di Jawa Tengah sendiri tahun pelajaran 2015/2016 pernah menerapkan sekolah dari SD sampai SMA sederajat sistem belajar 5 hari. Meskipun siswa tidak di sekolah sampai pukul 17.00, namun banyak yang mengeluhkan kebijakan ini. Orang tua mengeluhkan pada hari Sabtu anaknya tidak sekolah malah ‘keluyuran’ yang tidak jelas. Jika anaknya sekolah, maka hal ini tidak akan terjadi. Tak sedikit pula orang tua yang mengeluhkan anaknya tidak konsentrasi belajar karena seharian otak harus dipaksa untuk berfikir.

Kebijakan 5 hari sekolah tersebut banyak ditentang di berbagai kabupaten dan kota di Jawa Tengah. Sebut saja Kota Solo dan Kabupaten Sukoharjo yang dari awal menentang kebijakan tersebut. Sejak awal diterapkan kebijakan tersebut sekolah di kedua daerah tersebut tetap menerapkan 6 hari sekolah. Ada juga daerah yang menerapkan 5 hari sekolah hanya satu semester di semester gasal saja, pada semester genap kembali ke 6 hari sekolah. Akhirnya pada tahun pelajaran pelajaran 2016/2017 kebijakan 5 hari sekolah di Jawa Tengah resmi ditiadankan dan kembali ke 6 hari sekolah.

Jika harus kembali ke 5 hari sekolah, maka bukan tidak mungkin ini akan ditentang banyak pihak. Jangan sampai siswa dijadikan ‘kelinci percobaan’ atas kebijakan yang sebenarnya tidak menghasilkan ‘buah yang tidak manis’ ini. Mendikbud harus belajar dahulu dari Jawa Tengah yang telah gagal menerapkan FDS.

Bagi yang kontra pada FDS, ini alasannya.

1. Pembelajaran sehari penuh membutuhkan kesiapan fisik dan psikologis. Jika tidak siap, siswa akan bosan bahkan frustasi. Anak tidak bisa berfikir dengan jernih. Konsentrasi belajar menjadi terpecah antara urusan perut dan otak yang tidak lagi bisa berfikir. Meskipun siswa makan siang, maka ini bukan menjadi solusi. Jika dipaksakan FDS, maka yang akan terjadi anak akan mengantuk dan bosan di sekolah.

2. Anak-anak akan banyak kehilangan waktu untuk belajar tentang hidup bersama keluarganya di rumah. Selain bercengkerama dengan keluarga di rumah, maka kegiatan sosial di masyarakat juga berkurang. Tak sedikit anak yang tiap sore harus melakukan kegiatan di masjid atau olahraga. Selain itu, waktu bermain anak juga berkurang bahkan tidak ada.

3. Konsep FDS juga mempersempit ruang interaksi siswa dengan lingkungan di luar sekolah seperti keluarga dan teman-temannya. Anak-anak butuh berinteraksi dengan teman sebaya di sekolah, di lingkungan tempat tinggal, dan dengan keluarga di rumah. Anak seusia SD sangat membutuhkan waktu untuk bermain untuk tumbuh kembang mental dan fisiknya. Jika harus seharian di sekolah, maka masa kecil anak akan terenggut.

4. Peran pendidikan karakter anak tidak hanya di sekolah saja, namun juga di rumah. Di rumah orang tua dan lingkungan yang mengajarkan tentang pendidikan karakter dan budaya bangsa ini. Jika anak harus seharian di sekolah maka pendidikan karakter yang telah diajarkan oleh orang tua di rumah berkurang, bahkan menjadi tidak ada. Anak sangat kelelahan manakala orang tua ingin menanamkan pendidikan di rumah sesuai dengan keinginan keluarga, misal waktu anak belajar mengaji jadi berkurang, bahkan tidak ada.

5. FDS membutuhkan biaya yang lebih mahal dari pada sekolah yang 6 hari. Sekolah sampai pukul 17.00 tentu akan membutuhkan uang saku yang lebih. Siswa harus mendapatkan nutrisi yang bagus, tidak hanya sekedar makan. Otak diperas sampai sore jika hanya makan seadanya maka tidak akan percuma saja belajar seharian.

6. FDS membutuhkan fasilitas sekolah yang memadai. Kenyatannya tak semua sekolah di Indonesia memiliki fasilitas yang memadai. Terjadi kesenjangan yang tinggi antara fasilitas sekolah di kota dan desa, apalagi sekolah yang ada di daerah pelosok.

7. Beban guru kian bertambah dengan adanya FDS. Guru juga manusia, bukan robot, jadi jika beban di pundaknya terlalu berat harus mengajar sampai sore maka akan membuat beban psikis dan fisik guru menjadi menurun. Sebelum menjajar maka guru sudah mempersiapkan mulai dari perencanaan mengajar sampai evaluasi, ini membutuhkan waktu yang tidak sedikit. Tak jarang guru harus melakukannya di luar waktu jam kerja, misal di rumah. Jika guru harus mengajar sampai pukul 17.00 maka kapan guru memiliki waktu persiapan yang matang untuk persiapan mengajar? Berbeda dengan karyawan, meskipun harus bekerja sampai sore bahkan malam mereka tidak membutuhkan waktu untuk persiapan perencanaan bekerja. Guru juga memiliki keluarga yang harus diperhartikan, bukan hanya seharian mengurus anak orang, sementara anak sendiri kurang bahkan tidak terurus.

8. Guru juga memiliki beban tanggung jawab sosial di masyarakat, ini banyak terjadi di daerah pedesaan. Tak jarang guru di masyarakat menjadi tokoh masyarakat yang menjadi panutan warga di tempat tinggalnya. Jika harus seharian di sekolah, maka tanggung jawab sosial di masyarakat akan berkurang.